Gunung Sugih--Berdasarkan SK Menhutbun No.256/KPTS-II/2000 Tanggal 23 Agustus 2000 Luas Kawasan Hutan di Kabupaten Lampung Tengah ± 40.931,72 Ha, terdiri dari :- Hutan Lindung Register 22 Way Waya, dengan luas : 5.118 Ha- Hutan Lindung Register 39 Kota Agung Utara, dengan luas : 17.647 Ha- Hutan Lindung Register 08 Rumbia, dengan luas 5.666,72 Ha- Hutan Produksi Tetap Register 47 Way Terusan, dengan Luas : 12.500 Ha.
Kenyataan di lapangan sungguh sangat mengkawatirkan. Kawasan hutan lindung (Register 22, 39,47) sebagian besar telah diduduki, dimanfaatkan dan digarap oleh penduduk dari desa disekitar hutan dan pendatang dari luar.Fungsi hutan hanya tinggal 10%-25% atau lebih dari 75% kondisinya sudah rusak. Hutan lindung yang paling besar mengalami konversi guna lahan terdapat di register 39 Kota Agung Utara sebesar 13.235,25 ha atau 75 % dari luas hutan lindung pada register ini. (sekitar Kecamatan Pubian, Selagai Lingga dan Sendang Agung).Sedangkan Register 8 Rumbia kondisinya hanya tinggal 10 % saja yang masih mempunyai hutan. Register 22 Way Waya yang meliputi Kecamatan Kalirejo dan Bangun Rejo kondisi saat ini yang ditutupi oleh hutan tidak kurang dari 25 %. Fungsi kawasan ini untuk menjaga sumberdaya air Way Waya. Sungai Way Waya merupakan aset bagi Kecamatan Kalirejo sebagai pusat pengembangan perikanan darat/kolam/tawar di Kabupaten Lampung Tengah.
Penduduk Kabupaten Lampung Tengah tahun 2007 mencapai 1.159.048 jiwa dengan pertumbuhan rata-rata tiga tahun terakhir sebesar 1,43% per tahun, pertumbuhan ekonomi 6,2% per tahun.Sektor pertanian merupakan sektor andalan yang memberikan kontribusi 49,05% dalam perekonomian Kabupaten Lampung Tengah, dan diikuti oleh sektor industri pengolahan, sebagian besar merupakan industri pengolahan hasil pertanian. Kebutuhan akan lahan pertanian dan permukiman semakin besar seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, sedangkan pertumbuhan lapangan kerja di luar sektor pertanian dirasakan sangat lambat. Dengan melihat kondisi ini, kedepan tekanan terhadap keberadaan hutan semakin berat bila tidak diikuti langkah-langkah kongkrit dan terpadu untuk menyelamatkan hutan kita. Selama ini sesungguhnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya mengeluarkan kebijakan dan program seperti Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), Program Pengembangan Hutan Rakyat, Program Hutan Kemasyarakatan, dll.Namun penyelenggaraan program tersebut belum dirasakan efektivitasnya dan sampai saat ini belum memberikan kontribusi yang signifikan bagi pemulihan fungsi kawasan hutan di Kabupaten Lampung Tengah.
Kamis, 08 April 2010
Lamteng Diguncang Gempa 5,1 SR
GUNUNGSUGIH – Setelah Aceh, giliran Lampung diguncang gempa berkekuatan 5,1 Skala Richter (SR) kemarin (8/4) pukul 15.58 WIB. Episentrum gempa berada di 37 km barat daya Gunungsugih, Lampung Tengah (Lamteng), dengan kedalaman 180 kilometer. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMG) menginformasikan, gempa juga dirasakan di 37 km barat daya Metro; 43 km barat laut Tanjungkarang, Bandarlampung; 88 km tenggara Belambanganumpu, Waykanan; dan 233 km barat laut Jakarta. Meski demikian, banyak warga yang tidak merasakan adanya gempa. Dan hingga sore kemarin, belum adanya laporan kerusakan. Sebelumnya, gempa 4,5 SR dirasakan di Nabire, Papua, Kamis dini hari. Pusat gempa berada di darat 23 km Tenggara Nabire. Lalu, disusul gempa 4,7 SR di Gunungsitoli, Nias. Pusat gempa berada di 79 km barat laut Gunungsitoli.
Letak geografis Indonesia berada di kawasan rawan bencana, terutama gempa. Selama Januari 2010 saja tercatat sekitar 100 kali gempa. Karena itu, Indonesia sangat membutuhkan sistem mitigasi bencana terpadu. Menyusul rentanya sejumlah wilayah akan gempa, ahli gempa dan seismologis ITB Bandung Wahyu Triyoso, Ph.D. mengungkapkan, Indonesia membutuhkan sistem mitigasi bencana yang terintegrasi. Ia membebarkan fakta, sejak Januari 2010 telah terjadi lebih dari 100 kali gempa berkekuatan di atas 5 SR di Indonesia.
Sejak 2004, tercatat lebih dari 800 kali gempa berkekuatan di atas 5 SR. ’’Keberadaan sistem mitigasi bencana akan membuat pemerintah dan masyarakat memiliki adaptasi dan antisipasi yang lebih baik terhadap perilaku alam khususnya gempa,’’ kata dosen jurusan Teknik Geofisika ITB itu. Dia berpendapat ada beberapa hal mendasar dalam mitigasi bencana. Salah satunya pelestarian pengetahuan lokal (local knowledge) dari masyarakat yang dikombinasikan dengan aplikasi pengetahuan terbaru (updating knowledge) dalam hal bagaimana mengantisipasi potensi bencana. ’’Masyarakat Pulau Simuelue di Aceh misalnya, punya kebiasaan berlari ke perbukitan apabila terjadinya gempa dibarengi surutnya air laut, untuk menghindarkan diri dari terjangan tsunami. Kearifan lokal semacam itu perlu ditunjang dengan pengetahuan yang bersumber dari riset modern mengenai gempa dan tsunami agar masyarakat dapat mengantisipasinya lebih baik lagi,’’ ujar Wahyu. (niz) (Sumber : Radar Lampung, 09-04-2010)
Letak geografis Indonesia berada di kawasan rawan bencana, terutama gempa. Selama Januari 2010 saja tercatat sekitar 100 kali gempa. Karena itu, Indonesia sangat membutuhkan sistem mitigasi bencana terpadu. Menyusul rentanya sejumlah wilayah akan gempa, ahli gempa dan seismologis ITB Bandung Wahyu Triyoso, Ph.D. mengungkapkan, Indonesia membutuhkan sistem mitigasi bencana yang terintegrasi. Ia membebarkan fakta, sejak Januari 2010 telah terjadi lebih dari 100 kali gempa berkekuatan di atas 5 SR di Indonesia.
Sejak 2004, tercatat lebih dari 800 kali gempa berkekuatan di atas 5 SR. ’’Keberadaan sistem mitigasi bencana akan membuat pemerintah dan masyarakat memiliki adaptasi dan antisipasi yang lebih baik terhadap perilaku alam khususnya gempa,’’ kata dosen jurusan Teknik Geofisika ITB itu. Dia berpendapat ada beberapa hal mendasar dalam mitigasi bencana. Salah satunya pelestarian pengetahuan lokal (local knowledge) dari masyarakat yang dikombinasikan dengan aplikasi pengetahuan terbaru (updating knowledge) dalam hal bagaimana mengantisipasi potensi bencana. ’’Masyarakat Pulau Simuelue di Aceh misalnya, punya kebiasaan berlari ke perbukitan apabila terjadinya gempa dibarengi surutnya air laut, untuk menghindarkan diri dari terjangan tsunami. Kearifan lokal semacam itu perlu ditunjang dengan pengetahuan yang bersumber dari riset modern mengenai gempa dan tsunami agar masyarakat dapat mengantisipasinya lebih baik lagi,’’ ujar Wahyu. (niz) (Sumber : Radar Lampung, 09-04-2010)
Langganan:
Postingan (Atom)